Era Scientific Management
Perkembangan aliran scientific management diawali dengan terjadinya revolusi industri. Scientific management
menekankan organisasi memiliki satu struktur hierarki dan bekerja di
dalam dengan cara-cara yang logis, sistematis, dan rasional. Anggota
organisasi dipersepsikan sebagai instrumen utama yang pasif, dapat
mengerjakan pekerjaan, dan menerima pengarahan, tetapi tidak menciptakan
pekerjaan atau menggunakan pengaruh secara memadai. Scientific management dimulai dengan gagasan Taylor yang menganalisis secara sistematis perilaku manusia dalam bekerja.
Taylor
mengemukakan bahwa dalam suatu organisasi, perlu diadakan pembatasan
secara tegas antara kegiatan pelaksanaan atau operasional dan
tugas-tugas manajerial (Utomo, 2008:12-13). Dengan kata lain, para
pekerja seperti tukang atau operator mesin, hanya bertugas sebagai
pelaksana saja, sementara tugas untuk merencanakan metode kerja,
pengorganisasian atau koordinasi dilakukan oleh pihak manajemen. Hal ini
dimaksudkan agar kedua kelompok karyawan tadi akan menjadi lebih ahli
dalam melaksanakan tugasnya. Disamping itu, keuntungan yang bisa diraih
dengan sistem kerja ini adalah terbukanya kesempatan untuk menetapkan
waktu baku bagi setiap pekerja untuk menyelesaikan tugas. Namun
keberatannya, pekerja diperlakukan sebagai mesin, dalam arti bekerja
secara mekanistis menurut suatu metode kerja tertentu, tanpa kebebasan
untuk memilih cara kerja sendiri yang dianggap lebih sesuai dengan
karakteristik yang dimilikinya.
Taylor
merupakan pelopor gerakan manajemen ilmiah. Prinsip manajemen ilmiah
menurut Taylor dalam Wisnu dan Nurhasanah (2005:101) yaitu 1)
mengembangkan suatu ilmu bagi setiap elemen dari suatu pekerjaan, yang
mengganti petunjuk praktisnya yang usang, 2) memilih secara ilmiah dan
melatih, mendidik dan mengembangkan pekerja, mengingat pada waktu ia
memilih pekerjaannya sendiri, dan melatihnya sendiri sebaik mungkin, 3)
manajemen kerja sama yang sungguh-sungguh dengan orang-orang seperti
itu misalnya jaminan bagi seluruh pelaksanaan kerja dalam hubungannya
dengan prinsip ilmiah yang telah dikembangkan, dan 4) terdapat suatu
bagian (divisi) pekerjaan yang hampir sama dan demikian pula tanggung
jawab antara pengusaha dan para pekerja. Pimpinan akan mengambil alih
semua tugas yang kemampuannya lebih baik daripada para pekerja,
sedangkan pada masa lalu seluruh tugas dan sebagian tanggung jawab besar
dibebankan kepada setiap pekerja.
Tokoh scientific management
yang lain adalah Weber yang mencetuskan teori birokrasi. Unsur
birokrasi merupakan bagian yang vital dari organisasi. Unsur-unsur ini
membentuk birokrasi yang ideal. Unsur birokrasi menurut Weber dalam
Wisnu dan Nurhasanah (2005:84-85) adalah hierarki (urutan kewenangan
dalam organisasi), kualitas keahlian, aspek karier/profesionalisme, dan
kewenangan yang legal. Birokrasi memeliki beberapa fungsi yang dapat
menguntungkan organisasi yaitu spesialisasi, struktur, kemungkinan untuk
meramalkan dan stabilisasi, rasionalisasi, dan menunjang demokrasi
dengan penekannya pada kompetensi teknis sebagai basis utama untuk
memperoleh dan mempertahankan suatu pekerjaan atau jabatan.
Organisasi mekanik (mechanism paradigm) merupakan paradigma era scientific management.
Paradigma mekanik menganggap organisasi sebagai suatu mesin yang
bekerja dengan suatu keteraturan dan keajegan tertentu yang menekankan
adanya suatu tingkat produktivitas tertentu, yang ingin mencapai taraf
efisiensi tertentu, dan yang dikendalikan oleh suatu legitimasi otoritas
pimpinan (Thoha, 2003). Model organisasi mekanik memandang tujuan
organisasi dapat dicapai secara efektif dan efisien melalui mekanisme
pembagian kerja, spesialisasi, dan hubungan kerja yang hierarkis.
Paradigma mekanik berasumsi efisiensi dalam organisasi dapat ditingkatkan hanya apabila terdapat pengerangkaan (structuring) dan pengendalian (controlling)
terhadap partisipasi anggota organisasi. Organisasi mekanik banyak
diterapkan upaya pemotivasian pegawai melalui pemberian insentif,
sementara disisi lain cara kerja pegawai didasarkan pada spesialisasi
yang diawasi secara ketat. Hasilnya adalah suatu organisasi yang
berstruktur piramida, menerapkan kesatuan komando, jenjang pengawasan
yang berlapis, spesialisasi berdasarkan fungsi, serta penerapan
pembagian kerja lini dan staf. Dikaitkan dengan sifat organisasi, maka
pada paradigma mekanik, organisasi lebih menganut sistem tertutup,
dimana organisasi dilihat sebagai suatu kesatuan yang merdeka serta
tidak ada ikatan dengan variabel lainnya.
b. Human Relation
Era human relation menekankan pada faktor manusia dan hubungan antarpribadi dalam mengatur kegiatan organisasi. Konsep menurut human relation
yang sesuai untuk digunakan oleh administrator dalam praktik adalah 1)
semangat kerja, 2) dinamika kelompok, 3) supervisi, 4) hubungan
pribadi, dan 5) konsep perilaku tentang motivasi. Human relation menekankan pada sosio psikologis sebagai faktor yang tidak dapat dijelaskan scientific management, pekerja lebih tertarik pada reward (hadiah) dan punishment
(hukuman), dan lebih mematuhi pimpinan informal daripada formal. Teknik
hadiah menurut Mustiningsih (2003:7-8) berusaha menjembatani
kepentingan lembaga dan anggota organisasi, sedangkan teknik hukuman
didasari asumsi bahwa seseorang akan bekerja dengan baik jika ada
paksaan dari luar, misalnya atasan.
Asumsi yang dikembangkan era human relation
adalah 1) organisasi adalah sistem sosial, tidak sekedar sistem ekonomi
tetapi terdapat ikatan batin, 2) manusia dimotivasi oleh beberapa
kebutuhan, 3) manusia saling bergantung, diluar perilaku dalam konteks
sosial, 4) kelompok kerja informal lebih menjadi faktor utama dalam
sikap dan performasi, 5) manajemen sebagai salah satu faktor dalam
mempengaruhi perilaku, 6) peran kerja lebih kompleks dari deskripsi
kerja, perilaku orang tidak ditampung dalam deskripsi kerja, lebih
mementingkan peran, 7) terdapat korelasi tidak otomatis antara individu
dan kebutuhan organisasi, alat komunikasi mencakup aspek logika ekonomi dalam organisasi dan feeling
(perasaan) orang, 9) kerja tim adalah esensi kerja sama dan menyuarakan
keputusan teknis, 10) kepemimpinan dimodifikasi dalam konsep human relations,
11) kepuasan kerja mengarahkan produktivitas kerja, dan 12) manajer
terampil dalam sosial secara efektif dan memperhatikan kemampuan teknis
lebih sedikit.
Organisasi organik (organism paradigm) merupakan paradigma era human relation.
Paradigma organik memandang organisasi sebagai suatu sistem yang
menekankan pada unsur manusia sebagai pelaku utama (Thoha, 2003). Dalam
model organisasi ini, efisiensi dan efektivitas bukan merupakan aspek
utama dalam pencapaian tujuan organisasi, sebab produk (output)
tidak dipandang sebagai hal yang utama. Aspek yang dianggap lebih
penting dalam organisasi model organik ini adalah adanya keseimbangan
antara faktor manusia dan faktor lingkungannya.
Organisasi organik menerapkan pendekatan sistem terbuka (open system)
yang menitikberatkan faktor manusia dan cara manusia tersebut
berperilaku dalam kegiatan-kegiatan organisasi senyatanya. Oleh
karenanya, dalam pendekatan ini faktor lingkungan yang memiliki
kemungkinan pengaruh terhadap organisasi, sangat diperhatikan.
Tokoh era human relation
adalah Follett yang mengemukakan bahwa organisasi dapat dipandang dari
perspektif perilaku individual dan kelompok. Follett dalam Robbins
(2003:821-822) mengemukakan gagasan yang lebih berorientasi pada orang.
Gagasannya mempunyai implikasi yang jelas untuk perilaku organisasi.
Organisasi seharusnya didasarkan pada suatu etika kelompok bukan
individualisme. Potensi individual hanya akan tetap potensial sampai
dibebaskan melalui asosiasi kelompok. Tugas manajer adalah menyerasikan
dan mengkoordinasikan upaya kelompok. Manajer mengandalkan pada
keahlian dan pengetahuan mereka daripada otoritas formal dari jabatan
mereka untuk memimpin bawahan.
Gagasan human relation
Follett dalam Robbins (2003:822) telah mempengaruhi cara manajemen
memandang motivasi, kepemimpinan, kekuasaan, dan otoritas sekarang ini.
Follett dalam Wisnu dan Nurhasanah (2005:113) berupaya membuat
keseimbangan antara perhatian individu dan organisasi. Organisasi
mengerjakan sesuatu sebagai jalan keluar dalam suatu semangat kerja
sama. Sehingga kesadaran akan cita-cita maka setiap anggota sebagai
bagian dari organisasi mendorong dapat diterima dengan terbuka tanpa
mengorbankan kepentingan organisasi. Human relation memandang karyawan sebagai makhluk sosial yang aktif dan langkah untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih manusiawi.
c. Behavioristic
Era behavioristic
menekankan kajian perilaku manusia di dalam lingkungan formal
organisasi. Menurut Subejo (2009) perilaku organisasi merupakan
penelaahan perilaku, sikap, dan prestasi manusia/individu dalam kerangka
organisasi. Era behavioristic berupaya mendeskripsikan,
memahami, dan memprediksi perilaku manusia dalam lingkungan organisasi.
Karakteristik perilaku organisasi sebagai disiplin ilmu adalah
pengakuan bahwa organisasi menciptakan setting kontekstual
internal atau lingkungan yang memiliki pengaruh besar terhadap perilaku
orang-orang di dalamnya dan lingkungan organisasi dipengaruhi oleh
lingkungan yang lebih luas dimana organisasi itu berada.
Tokoh era behavioristic
adalah Barnard yang menjelaskan manajemen dan organisasi dalam
pandangan modernisasi. Barnard dalam Wisnu dan Nurhasanah (2005:113)
mengemukakan bahwa organisasi sebagai suatu sistem sosial yang dinamis
antarkegiatan secara bersama-sama dengan tujuan agar dapat memuaskan
kebutuhan individu. Pimpinan yang efektif harus mengikuti interaksi
antara kebutuhan dan aspirasi pekerja, di satu sisi, dan kebutuhan dan
tujuan organisasi di lain sisi. konsep behavioristic tentang
organisasi mengakui adanya dinamika hubungan antara karakteristik
struktural organisasi dan karakteristik pribadi individu. Perilaku orang
bekerja terdapat hubungan dinamis antara struktur organisasi dan
orang-orang yang ada di dalamnya.
Konsep organisasi sebagai suatu sistem dalam pandangan behavioristic seperti pada Gambar 1.
Gambar 1 Konsep Organisasi sebagai Suatu Sistem
Organisasi
tersusun dari orang-orang yang mempunyai hubungan sosial interaktif.
Tiap anggota organisasi memiliki dua dimensi yaitu nomothetic dan idiographic.
Kedua dimensi tersebut memiliki indikator yang harus dipenuhi secara
seimbang. Peran utama manajer adalah berkomunikasi dan mendorong
karyawan untuk mencapai tingkat upaya yang tinggi. Bagian utama dari
keberhasilan organisasi bergantung pada sistem kerja sama
antarpersonelnya dan terpeliharanya hubungan baik dengan orang-orang dan
lembaga-lembaga di luar organisasi dengan siapa organisasi itu secara
teratur berinteraksi. Manajer mengenali ketergantungan organisasi
terhadap unsur internal dan eksternal kemudian menyesuaikan organisasi
untuk memelihara bentuk keseimbangan.
a. Human Resources Management
Era human resources management menekankan penggunaan concious thinking
(kesadaran berpikir) dari individu tentang apa yang mereka kerjakan
sebagai alat untuk melibatkan komitmen, kemampuan, dan energi mereka
dalam mencapai tujuan organisasi. Mekanisme sentral organisasi dalam
melaksanakan kontrol dan koordinasi adalah menyosialisasikan nilai dan
tujuan organisasi kepada anggota. Hal ini adalah budaya organisasi.
Organisasi tidak bercirikan oleh keteraturan, rasionalitas, dan sistem
inheren (menurut scientific management) melainkan bersifat ambiguity
(terdapat dua sisi/kemenduaan), lingkungan masa depan yang tidak
menentu, dan tidak terhubungnya aktivitas penting dan unit organisasi.
Inti kegiatan organisasi tidak berjalan dibawah pengawasan dari hierarki
administratif, tetapi dikoordinasikan dan diawasi lebih banyak oleh
budaya organisasi, yakni nilai, tradisi organisasi, dan norma perilaku,
meskipun aktivitas organisasi seperti pengelolaan keuangan dan sarana
prasarana umumnya dikelola menggunakan teknik dan perspektif birokratik.
Sehingga organisasi dipandang sebagi dual sistem (ambiguity).
Budaya
memperkuat desain strategi dan desain budaya yang diperlukan
organisasi agar lebih efektif dalam lingkungannya. Nilai budaya,
strategi dan struktur organisasi, dan lingkungan dapat memajukan
organisasi. Dimensi budaya menurut Wisnu dan Nurhasanah (2005:250)
mencakup dimensi 1) perluasan di mana lingkungan kompetitif menghendaki
fleksibilitas dan stabilitas, dan 2) perluasan di mana fokus dan
kekuatan strategi organisasi merupakan faktor internal dan eksternal.
Empat kategori budaya yang berkaitan dengan beberapa perbedaan ini
diilustrasikan seperti dalam Gambar 2.
Gambar 2 Kemampuan Adaptasi, Misi, Klan, dan Birokrasi
Empat
kategori yakni kemampuan adaptasi, misi, klan, dan birokrasi
berhubungan dengan kesesuaian antara nilai budaya, strategi, struktur,
dan lingkungan. Masing-masing dapat berhasil, bergantung pada kebutuhan
lingkungan eksternal dan fokus strategis organisasi. Kemampuan adaptasi
budaya bercirikan oleh fokus strategis pada lingkungan eksternal
melalui fleksibilitas dan perubahan dalam memenuhi kebutuhan pelanggan.
Budaya misi dicirikan oleh penekanan pada visi yang jelas tentang
tujuan organisasi dan pada pencapaian beberapa tujuan. Budaya klan
mempunyai fokus utama pada keterlibatan dan partisipasi para anggota
organisasi dan pada ekspektasi yang berubah cepat dalam lingkungan
eksternal. Budaya birokratis mempunyai fokus internal dan konsistensi
orientasi bagi lingkungan yang stabil.
2. Pergerakan
teori manajemen bergerak dari kutub teori organisasi klasik sampai ke
kutub teori organisasi modern. Kajian teori manajemen menurut Owen,
McGregor, dan Likert seperti pada uraian berikut.
a. Teori Manajemen menurut Owen
Menurut Owen teori organisasi berorientasi bureaucratic sampai ke teori organisasi human resources management.
Konsep utama yang mendasari birokrasi adalah pembakuan. Birokrasi
menurut Robbins (2003:596) dicirikan oleh tugas operasi yang sangat
rutin dan dicapai dengan melalui spesialisasi, aturan dan pengaturan
yang sangat formal, tugas-tugas yang dikelompokkan ke dalam
departemen-departemen fungsional, wewenang terpusat, rentang kendali
yang sempit, dan pengambilan keputusan yang mengikuti rantai komando.
Pendekatan
birokrasi cenderung menekankan lima mekanisme dalam mengawasi dan
mengkoordinasi perilaku orang di dalam organisasi yaitu:
1) Mempertahankan
pengawasan kewenangan secara hierarki dan supervisi yang ketat
terhadap orang di tingkat yang lebih rendah. Peran administrator
sebagai inspektur dan evaluator ditekankan dalam konsep birokratis,
2) Menciptakan
dan memelihara komunikasi vertikal yang memadai. Hal ni membantu untuk
menjamin bahwa informasi yang berguna akan tersampaikan ke pengambil
keputusan dan perintah-perintah akan menjadi jelas dan cepat
tersampaikan ke bawah untuk implementasi,
3) Mengembangkan aturan dan prosedur tertulis yang jelas untuk mengatur standar dan petunjuk kegiatan organisasi,
4) Menyusun rencana dan jadwal yang jelas untuk diikuti oleh para pekerja,
5) Menambahkan
posisi administrasi dan supervisi ke dalam hierarki organisasi
seperlunya untuk memecahkan masalah yang muncul dari perubahan kondisi
yang dihadapi organisasi.
Teori human resources management menekankan penggunaan concious thinking
(kesadaran berpikir) dari individu tentang apa yang mereka kerjakan
sebagai alat untuk melibatkan komitmen, kemampuan, dan energi mereka
dalam mencapai tujuan organisasi. Mekanisme sentral organisasi dalam
melaksanakan kontrol dan koordinasi adalah menyosialisasikan nilai dan
tujuan organisasi kepada anggota organisasi. Hal ini adalah budaya
organisasi. Robbins (2003:721) mengemukakan budaya organisasi adalah
sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi yang
membedakan organisasi itu dari organisasi lainnya. Fungsi budaya
organisasi adalah 1) budaya mempunyai peran menetapkan tapal batas,
artinya budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara organisasi satu
dan yang lain, 2) budaya memberikan rasa identitas kepada anggota
organisasi, 3) budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang
lebih luas daripada kepentingan diri sendiri seseorang, dan 4) budaya
meningkatkan kemantapan sistem sosial.
Karakteristik
budaya organisasi mencakup 1) inovasi dan pengambilan risiko, sejauh
mana para karyawan didorong agar inovatif dan mengambil risiko, 2)
perhatian terhadap detail, sejauh mana para karyawan diharapkan
memperlihatkan presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian terhadap
organisasi secara detail, 3) orientasi hasil, sejauh mana manajemen
memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang
digunakan untuk mencapai hasil itu, 4) orientasi orang, sejauh mana
keputusan manajemen memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang
di dalam organisasi, 5) orientasi tim, sejauh mana kegiatan kerja
diorganisasikan berdasarkan tim, bukannya berdasarkan individu, 6)
keagresifan, sejauh mana orang-orang agresif dan kompetitif, bukannya
santai-santai, dan7) kemantapan, sejauh mana kegiatan organisasi
menekankan dipertahankannya status quo bukannya pertumbuhan.
b. Teori Manajemen menurut McGregor
McGregor
mengemukakan teori dua pandangan yang jelas berbeda mengenai manusia,
pada dasarnya yang satu negatif, ditandai sebagai teori X, dan yang
satu positif, ditandai dengan teori Y. Setelah mengkaji cara para
manajer menangani karyawan, McGregor dalam Robbins (2003:216)
menyimpulkan bahwa pandangan manajer mengenai kodrat manusia didasarkan
pada kelompok asumsi tertentu dan menurut asumsi-asumsi ini, manajer
cenderung menularkan cara berperilakunya kepada para bawahan.
Menurut Teori X, empat asumsi yang dipedomani para manajer adalah:
1) Karyawan secara inheren tidak menyukai kerja dan bila dimungkinkan akan mencoba menghindarinya,
2) Karena
karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi, atau
diancam dengan hukuman untuk mencapai sasaran dan tujuan organisasi,
3) Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari pengarahan formal dari orang di atasnya bila mungkin,
4) Kebanyakan
karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain yang terkait
dengan kerja dan akan menunjukkan ambisi yang rendah.
Kontras dengan pandangan negatif mengenai kodrat manusia, empat asumsi positif Teori Y adalah:
1) Karyawan dapat memandang kerja sebagai kegiatan alami yang sama dengan istirahat atau bermain,
2) Karyawan
akan melakukan pengarahan diri dan pengawasan diri jika mereka
memiliki komitmen pada pencapaian sasaran dan tujuan organisasi,
3) Karyawan dapat belajar untuk menerima, bahkan mengusahakan tanggung jawab,
4) Kemampuan
untuk mengambil keputusan inovatif menyebar luas ke semua orang dan
tidak hanya milik mereka yang berada dalam posisi manajemen.
Asumsi
Teori X dan Teori Y terjadi dalam situasi tertentu. Implikasi dari
teori tersebut adalah Teori X mengasumsikan bahwa kebutuhan tingkat
rendah mendominasi individu dan Teori Y mengasumsikan bahwa kebutuhan
tingkat tinggi mendominasi individu. Oleh karena itu McGregor dalam
Robbins (2003:216) mengemukakan ide pengambilan keputusan partisipatif,
pekerjaan yang bertanggung jawab, dan hubungan kelompok yang baik
sebagai pendekatan yang akan memaksimalkan kerja karyawan.
c. Teori Manajemen menurut Likert
Likert mengemukakan bentangan sistem manajemen yang terbagi ke dalam empat kategori yaitu exploitive authoritative (penguasa pemeras), benevolent authoritative (penguasa pemurah), consultative (penasihat), dan participative gruop (kelompok partisipatif). Keempat kategori tersebut diilustrasikan seperti Gambar 3.
Gambar 3 Bentangan Sistem Manajemen Likert
Konsep yang dikembangkan dalam manajemen sistem 1 exploitive authoritative
adalah 1) pembuatan keputusan dilakukan di tingkat atas, 2) bawahan
dimotivasi dengan ancaman, dan hukuman, 3) pengawasan terpusat pada
manajemen puncak, 4) interaksi atasan-bawahan sedikit, dan 5)
orang-orang secara informal dipertentangkan dengan tujuan oleh para
manajemen. Konsep yang dikembangkan dalam manajemen sistem 2 benevolent authoritative adalah 1) bawahan jarang dilibatkan dalam pembuatan keputusan, 2) reward dan punishment digunakan
dalam memberi motivasi, 3) interaksi atasan-bawahan dilakukan dengan
suasana baik, 4) ketakutan dan kehati-hatian nampak pada bawahan, dan 5)
pengawasan masih terpusat pada manajemen puncak dengan sedikit
pendelegasian.
Konsep yang dikembangkan dalam manajemen sistem 3 consultative
ialah 1) bawahan membuat keputusan tertentu pada tingkat yang lebih
rendah, 2) komunikasi mengalir ke atas dan ke bawah secara hierarki, 3) reward dan punishment yang
mendidik dan sedikit pelibatan digunakan untuk memotivasi, 4)
interaksi yang moderat dan saling percaya terjadi, dan 5) pengawasan
didelegasikan ke bawah. Konsep yang dikembangkan dalam manajemen sistem 4
participative gruop ialah 1) pembuatan keputusan
didelegasikan secara luas, 2) komunikasi mengalir ke atas, ke bawah,
dan lateral, 3) pemberian motivasi dengan keikutsertaan reward dan punishment ,
4) interaksi atasan-bawahan yang ekstensif dan akrab terjadi, 5)
saling percaya yang tinggi terjadi, dan 6) penyebaran secara luas
tanggung jawab untuk mengawasi proses terjadi.
3. Organisasi merupakan sebuah sistem sosial dimana perilaku organisasi adalah hasil interaksi antara personality (individu secara pribadi) dan role
(peran dalam organisasi). Sehingga akan membentuk suatu fungsi perilaku
organisasi yaitu B = f(PXR). Perilaku individu menurut Mustiningsih
(2005:22) dipengaruhi oleh kemampuan dan keahlian (mental dan fisik),
latar belakang (keluarga, kelas sosial, dan pengalaman), dan demografi
(umur, ras, dan jenis kelamin). Faktor-faktor kepribadian menurut
Robbins (2003:131) adalah:
a. Ekstroversi, dimensi kepribadian yang menggambarkan seseorang yang supel, riang, dan percaya diri,
b. Kemampuan untuk bersepakat, dimensi kepribadian yang menggambarkan seseorang yang bersifat baik, kooperatif, dan mempercaya,
c. Kemampuan
untuk mendengarkan suara hati, dimensi kepribadian yang menggambarkan
seseorang yang bersifat bertanggung jawab, dapat diandalkan, stabil,
dan tertata,
d. Stabilitas
emosi, dimensi kepribadian yang mencirikan seseorang pada segi positif
sebagai orang yang tenang, percaya diri, dan tenteram, dan pada segi
negatif orang yang gugup, tertekan, dan tidak tenteram,
e. Keterbukaan
terhadap pengalaman, dimensi kepribadian yang mencirikan seseorang
berdasarkan imajinasi, sensitivitas, dan keingintahuan.
Peran (role)
adalah seperangkat pola perilaku yang diharapkan dari seseorang yang
menduduki posisi tertentu dalam unit sosial tertentu (Robbins,
2003:313). Individu memiliki lebih dari satu peran dalam masyarakat,
misalnya dalam organisasi sekolah seseorang berperan sebagai kepala
sekolah, di keluarga sebagai kepala rumah tangga, dan di lingkungan
bertetangga sebagai ketua RT (Rukun Tetangga). Terdapat sikap dan
perilaku aktual tertentu yang konsisten dengan peran dan menciptakan
identitas peran. Orang mempunyai kemampuan untuk dengan cepat beralih
peran bila mereka menyadari bahwa situasi dan tuntutannya jelas-jelas
membutuhkan perubahan besar.
Pandangan
seseorang mengenai bagaimana seseorang seharusnya bertindak dalam
situasi tertentu disebut persepsi peran. Berdasarkan penafsiran
keyakinan bagaimana seharusnya perilaku orang terlibat dalam tipe-tipe
perilaku tertentu. Pengharapan perilaku merupakan cara orang meyakini
apa seharusnya tindakan orang dalam situasi tertentu. Bagaimana orang
berperilaku ditentukan oleh peran yang didefinisikan dalam konteks
tindakan seseorang. Bila individu dihadapkan pada pengharapan peran yang
berlainan akan berakibat pada konflik peran. Konflik ini muncul
apabila individu menemukan bahwa patuh pada tuntutan satu peran
menyebabkan dirinya kesulitan mematuhi tuntutan peran lain. Dalam
keadaan ekstrem, itu akan mencakup situasi dimana dua atau lebih
pengharapan peran saling berlawanan.
Interaksi antara personality dan role
akan mempengaruhi cara orang berperilaku dalam organisasi. Tiap
individu dituntut untuk dapat menjalankan berbagai peranannya dengan
tidak mengabaikan kepentingannya sendiri. Sehingga akan terjadi
keseimbangan pencapaian tujuan pribadi dan organisasi. Keseimbangan ini
akan memacu etos kerja dan produktivitas kerja individu dalam
organisasi. Perilaku yang dilaksanakan oleh individu dapat berbeda, hal
ini berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar perilaku organisasi yang
menurut Nadler dkk (1979:28) adalah 1) manusia berbeda perilakunya
karena kemampuannya berbeda, 2) manusia memiliki kebutuhan yang berbeda,
3) manusia berpikir tentang masa depan dan membuat pilihan tentang
bagaimana bertindak, 4) manusia memahami lingkungannya berdasarkan
pengalaman masa lalu dan kebutuhannya, 5) manusia mempunyai reaksi
senang dan tidak senang, dan 6) sikap dan perilaku seseorang dipengaruhi
oleh banyak faktor.
4. Esensi teori motivasi Maslow dan Herzberg dalam konteks perilaku individu di organisasi, adalah:
a. Teori Hierarki Kebutuhan Maslow
Maslow
dalam Robbins (2003:214) mengemukakan bahwa di dalam diri semua
manusia bersemayam lima jenjang kebutuhan yaitu psikologis, keamanan,
sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Jenjang kelima kebutuhan
tersebut seperti pada Gambar 4.
Gambar 4 Hierarki Kebutuhan Maslow (Schermerhorn dkk, 2002:156)
Lima
kebutuhan membentuk tingkatan-tingkatan, dari yang paling penting
hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk
dicapai atau didapat. Motivasi manusia dipengaruhi oleh kebutuhan
mendasar yang perlu dipenuhi. Kebutuhan harus dipenuhi yang paling
penting dahulu kemudian meningkat ke yang tidak terlalu penting. Untuk
dapat merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan perlu dipuaskan dahulu
kebutuhan yang berada pada tingkat di bawahnya. Begitu masing-masing
kebutuhan ini terpenuhi secara substansial, maka kebutuhan berikutnya
akan menjadi dominan.
Berdasarkan
pada Gambar 4, individu bergerak naik mengikuti hierarkis. Dari titik
pandang motivasi, teori ini menyatakan bahwa meskipun tidak ada
kebutuhan yang dapat dipenuhi sepenuhnya, namun kebutuhan tertentu yang
telah terpuaskan secara substansial tidak lagi menjadi pendorong
motivasi. Sehingga manajer perlu memahami sedang berada di tingkat
manakah karyawan dan manajer harus terfokus pada pemenuhan kebutuhan di
tingkat atasnya. Kelima kebutuhan tersebut diklasifikasikan Maslow
dalam Schermerhorn dkk (2002:155) menjadi dua kategori yaitu 1) higher order needs (kebutuhan tingkat tinggi) mencakup penghargaan dan aktualisasi, dan 2) lower order needs
(kebutuhan tingkat rendah) mencakup psikologis, keamanan, dan sosial.
Pembedaan antara kedua tingkat ini didasarkan alasan bahwa kebutuhan
tingkat tinggi dipenuhi secara internal (dalam diri orang itu),
sedangkan kebutuhan tingkat rendah terutama dipenuhi secara eksternal
(dengan gaji, kontrak serikat kerja, dan masa kerja).
a. Teori Dua Faktor Herzberg
Herzberg
mengemukakan teori dua faktor yang meyakini bahwa hubungan individu
dengan pekerjaannya merupakan hubungan dasar dan bahwa sikap seseorang
terhadap kerja menentukan kesuksesan atau kegagalan individu (Robbins,
2003:218). Lebih lanjut Herzberg menelaah pertanyaan, apa yang
diinginkan orang-orang dari pekerjaan mereka? Herzberg meminta
orang-orang untuk menguraikan secara rinci, situasi-situasi di mana
mereka luar biasa baik atau buruk menyangkut pekerjaan mereka. Dari
respons yang telah dikategorikan Herzberg menyimpulkan bahwa jawaban
yang diberikan orang-orang ketika mereka merasa senang mengenai
pekerjaan mereka sangat berbeda dari jawaban yang diberikan ketika
mereka merasa tidak senang.
Karakteristik
tertentu cenderung secara konsisten terkait dengan kepuasan kerja dan
yang lain terkait dengan ketidakpuasan kerja. Faktor intrinsik seperti
prestasi, pengakuan, bekerja sendiri, tanggung jawab, kemajuan, dan
pertumbuhan terkait dengan kepuasan kerja. Responden yang merasa senang
dengan pekerjaan mereka cenderung mengaitkan faktor intrinsik ke diri
mereka sendiri. Dipihak lain, bila mereka tidak puas, mereka cenderung
mengaitkan dengan faktor ekstrinsik, seperti kebijakan organisasi,
kualitas supervisi, kondisi kerja, gaji, hubungan teman
sejawat/kolegial, hubungan dengan unit di bawahnya, status, dan
keamanan. Uraian tersebut diilustrasikan seperti pada Gambar 5.
Gambar 5 Sumber Kepuasan dan Ketidakpuasan dalam Teori Dua Faktor Herzberg (Schermerhorn dkk, 2002:158)
Menurut
Herzberg, bahwa lawan dari kepuasan bukanlah ketidakpuasan, seperti
yang diyakini orang pada umumnya. Menyingkirkan karakteristik yang tidak
memuaskan pada pekerjaan tertentu tidak serta merta menyebabkan
pekerjaan itu menjadi memuaskan. Seperti pada Gambar 5, Herzberg dalam
Robbins (2003:218) mengemukakan bahwa temuannya mengindikasikan adanya
kontinum ganda yaitu lawan kepuasan adalah tidak ada kepuasan dan lawan
ketidakpuasan adalah tidak ada ketidakpuasan. Faktor yang menyebabkan
kepuasan kerja terpisah dan berbeda dari faktor yang menimbulkan
ketidakpuasan kerja. Oleh karena itu manajer yang berusaha menghilangkan
faktor yang menciptakan ketidakpuasan kerja dapat membawa
ketenteraman, tetapi belum tentu motivasi. Mereka akan menenteramkan
tenaga kerja, bukannya memotivasi tenaga kerja.
Akibatnya
kondisi yang melingkupi pekerjaan seperti kebijakan organisasi,
kualitas supervisi, kondisi kerja, gaji, hubungan teman
sejawat/kolegial, hubungan dengan unit di bawahnya, status, dan keamanan
telah dicirikan oleh Herzberg sebagai faktor higiene. Jika memadai,
orang-orang tidak akan tak terpuaskan, tetapi mereka juga tidak akan
puas. Jika manajer ingin memotivasi orang pada pekerjaannya, maka harus
menekankan pada hal-hal yang berhubungan dengan kerja itu sendiri atau
hasil langsung yang diakibatkannya, seperti peluang promosi, peluang
pertumbuhan personal, pengakuan, tanggung jawab, dan prestasi. Inilah
karakteristik yang dianggap sebagai hal menguntungkan secara intrinsik.
5. Teori
kepemimpinan efektif dapat diklasifikasikan menjadi kelompok teori
sifat kepemimpinan, teori perilaku kepemimpinan, dan teori kontingensi.
a. Teori Sifat Kepemimpinan
Teori
sifat kepemimpinan menurut Mustiningsih (2005:36) menitikberatkan pada
pengidentifikasian ciri-ciri pemimpin yang efektif berdasarkan
pengamatan perilaku dan karakteristik fisik yang dapat dilihat, seperti
kecerdasan dan kepribadian. Pendekatan teori sifat membedakan pemimpin
efektif dengan pemimpin yang tidak efektif adalah sifat-sifat yang
dimiliki seorang leader. Pendekatan teori sifat merupakan teori
kepemimpinan yang paling tua yang mendasari teori-teori berikutnya.
Pendekatan teori sifat berpendapat bahwa pemimpin itu dilahirkan bukan
diciptakan (leader are born, not built), artinya
seseorang telah membawa bakat kepemimpinan sejak dilahirkan bukan didik
atau dilatih (Dharma dan Usman, 2008). Oleh sebab itu, menurut
pendekatan ini, pelatihan kepemimpinan tidak akan efektif atau hanya
sia-sia belaka jika dilatihkan kepada mereka yang tidak mempunyai bakat
sebagai pemimpin.
Teori
sifat kepemimpinan memandang bahwa pemimpin dilahirkan sudah memiliki
sifat kepemimpinan. Stogdill dalam Mustiningsih (2005:36-37)
mengemukakan sejumlah faktor pribadi yang harus dimiliki pemimpin, yakni
1) capacity, mencakup kemampuan intelegensi, kewaspadaan, kemampuan verbal, orisinalitas, dan kemampuan mengambil keputusan, 2) achievement, mencakup keahlian, pengetahuan, dan prestasi, 3) responsibility, mencakup dapat dipercaya, mengambil inisiatif, teguh pendirian, agresif, percaya diri, dan berkeinginan mengatasi masalah, 4) partisipation,
mencakup kemampuan untuk aktif, ramah tamah, kerja sama, kemampuan
menyesuaikan diri, dan memiliki rasa humor, dan 5) status, mencakup
kedudukan, sosial ekonomi, dan popularitas.
Sementara itu Hughes dkk (2002) menyatakan bahwa kepribadian yang efektif ialah pemimpin yang memiliki sifat-sifat (traits) dan terdapat dalam lima faktor model kepribadian (Five Factor Model of Personality) seperti Tabel 1.
Tabel 1 Lima Faktor Model Kepribadian
Berdasarkan Tabel 1, faktor kepribadian diklasifikasikan menjadi lima faktor yaitu kekacauan (surgency), pengakuan (agreeableness), dapat dipercaya (dependability), penyesuaian (adjustment), dan intelektualitas (intelectance). Kelima klasifikasi tersebut dijabarkan ke dalam sifat (traits) dan indikator perilaku yang mewakili dari faktor kepribadian.
Berbagai
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sejumlah sifat-sifat
pemimpin banyak memiliki persamaan makna. Perbedaannya hanya terletak
dalam istilah dan jumlahnya saja. Kelemahan pendekatan sifat ini adalah
sampai sekarang belum satu pun penelitian yang menggunakan pendekatan
ini berhasil secara memuaskan. Karena selalu saja terjadi sifat-sifat
kepemimpinan yang ditemukan tumpang tindih bahkan kontradiktif.
a. Teori Perilaku Kepemimpinan
Pendekatan teori sifat tidak memuaskan sebagian orang sehingga direvisi oleh teori berikutnya yaitu teori perilaku (behavior).
Teori perilaku menurut Dharma dan Usman (2008) menghasilkan gaya
kepemimpinan berorientasi pada tugas dan berorientasi pada hubungan
manusiawi. Kemudian berkembang menjadi gaya otoriter, demokratis, dan laize faire.
Selanjutnya berkembang menjadi gaya direktif, suportif, partisipatif,
dan orientasi pada pencapaian tujuan. Pendekatan perilaku memandang
bahwa pemimpin dapat dilihat dari ciri-ciri perilaku, dimana perilaku
pemimpin dapat dipelajari/dididik. Dalam hal ini pemimpin adalah hasil
tempaan dari pengalaman dan pendidikan, bukan semata-mata dilahirkan.
Teori
perilaku yang menyeluruh dan paling banyak digunakan ialah hasil
penelitian Universitas Negeri Ohio dalam Robbins (2003:435-436) yang
mengidentifikasi dimensi independen dari perilaku pemimpin. Hasil dari
penelitian menyimpulkan terdapat dua dimensi perilaku pemimpin, yaitu
struktur prakarsa dan pertimbangan. Struktur prakarsa merujuk sejauh
mana pemimpin berkemungkinan menetapkan dan menyusun perannya dan peran
bawahannya dalam mengupayakan pencapaian tujuan organisasi.
Pertimbangan digambarkan sebagai sejauh mana seseorang berkemungkinan
memiliki hubungan pekerjaan yang dicirikan dengan rasa saling percaya,
menghargai gagasan bawahan, dan memperhatikan perasaan mereka.
Kajian
teori perilaku kepemimpinan juga dihasilkan oleh Universitas Michigan
dalam Robbins (2003:436-437) yang menghasilkan kesimpulan perilaku
kepemimpinan disebut dengan berorientasi karyawan dan berorientasi
produksi. Kepemimpinan berorientasi karyawan menekankan pada hubungan
antarmanusia, memberikan perhatian pribadi terhadap kebutuhan karyawan
dan menerima perbedaan individual diantara para anggota. Kepemimpinan
berorientasi produksi bahwa pemimpin yang menekankan pada aspek-aspek
teknis atau tugas atas pekerjaan tertentu.
b. Teori Kontingensi
Teori
perilaku tersebut selanjutnya direvisi oleh teori kontingensi
(situasional). Menurut teori kontingensi tidak ada satu pun gaya
kepemimpinan yang tepat diterapkan dalam setiap situasi melainkan
tergantung kematangan pengikut dan situasinya (Hughes dkk, 2002).
Bagaimanapun hebatnya kualitas seorang pemimpin, jika tidak mendapat
dukungan pengikut dan situasinya, maka kepemimpinannya akan jatuh.
Sejarah menunjukkan bahwa banyak pemimpin yang kuat kemudian jatuh
karena pengikutnya dan situasinya sudah tidak mendukung. Tiga hal yang
paling erat hubungannya dengan follower (pengikut) ialah motivasi, kepuasan, dan kinerja.
Model
kepemimpinan kontingensi yang populer adalah model kepemimpinan
situasional Hersey dan Blanchard. Agar kepemimpinan efektif, Hersey dan
Blanchard (1995) merekomendasikan pemimpin untuk menggunakan gaya
kepemimpinan yang cocok dengan tingkat kematangan atau situasi
bawahannya yang diilustrasikan seperti Gambar 6.
Gambar 6 Model Kepemimpinan Situasional (Hersey dan Blanchard, 1995)
Empat gaya kepemimpinan yang dihasilkan adalah telling (pembertahuan), seling (penawaran), participating (pelibatan bawahan), dan delegating
(pendelegasian). Pendekatan ini merevisi pendekatan perilaku yang
ternyata tidak mampu menjelaskan kepemimpinan yang ideal. Pendekatan ini
menggambarkan bahwa gaya yang digunakan tergantung dari pemimpinnya
sendiri, dukungan pengikutnya, dan situasi yang kondusif. Para ahli
sepakat bahwa kepemimpinan yang efektif itu ditentukan oleh pemimpin,
pengikut, dan situasi.
Ciri-ciri telling
(pembertahuan) adalah tinggi tugas dan rendah hubungan, pemimpin
memberikan instruksi atau keterangan bagaimana cara mengerjakan, kapan
harus selesai, dimana pekerjaan dilaksanakan dan pengawasan, dan
komunikasi biasanya satu arah. Telling disebut juga gaya (Style) 1 atau disingkat S1. Ciri-ciri selling
(penawaran) adalah tinggi tugas dan tinggi hubungan, pemimpin
menawarkan gagasannya dan bawahan diberi kesempatan berkomentar,
pemimpin masih banyak melakukan pengarahan, dan komunikasi sudah dua
arah. Selling disebut juga gaya (Style) 2 atau disingkat S2.
Ciri-ciri participating
(pelibatan bawahan) adalah tinggi hubungan dan rendah tugas, pemimpin
dan bawahan saling memberikan gagasan, dan pemimpin dan bawahan
sama-sama membuat keputusan. Participating disebut juga gaya (Style) 3 atau disingkat S3. Ciri-ciri delegating
(pendelegasian) adalah rendah hubungan dan rendah tugas, pemimpin
melimpahkan wewenangnya kepada bawahan, dan bawahan mendapat wewenang
membuat keputusan sendiri. Delegating juga gaya (Style) 4 atau disingkat disebut S4.
Tiga asas yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan dan pahlawan nasional Indonesia dapat dirumuskan, Ing Ngarsa Asung Tulada, artinya jika berada di muka ia memberikan teladan sepadan dengan telling. Ing Madya Mangun Karsa, artinya jika berada di tengah, ia mengembangkan tekad sepadan dengan selling dan participating. Tut Wuri Handayani, artinya jika di belakang ia menjadi pendorong sepadan dengan delegating.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar